Media Salah Generasi : cinta untuk layar kaca
Menonton sebuah tayangan komedi di televisi membuat pertanyaan besar dalam alam pikir saya, ‘apakah satu hal yang benar untuk saya tumbuh kembang dalam generasi ini?’ Generasi di mana budaya bisa menjadi alibi atau kedok komedi. Ada juga satu sesi interview dalam acara variety show. Sesi tersebut terjadi interaksi tanya jawab antara pembawa acara dan narasumber serta bintang tamu. Yang tidak bisa masuk sedikitpun dalam nalar saya, bumbu komedi di acara tersebut terlalu mendominasi sesi tersebut. Selalu ada celah untuk membuat lawakan khas yang terkadang (atau terlalu sering)menginterupsi kalimat seseorang tanpa permisi, atau, jika boleh jujur, sangat tidak sopan. Tidak akan terelakkan pengaruh yang akan terekam dalam ingatan anak di bawah umur yang berakibat pada cara mereka bersopan santun.
Sebenarnya bukan masalah sopan santun, tapi lebih kepada bagaimana cara untuk memberikan energi positif di tengah kacaunya konstelasi era penuh pertanyaan ini. Bagaimanapun, contoh yang baik akan selalu diperlakukan dan harus selalu diperbaharui (kecuali, jika tafsir kata ‘baik’ sudah berubah menjadi oposisinya).
Sosialisasi lewat jalan yang salah. Begitu saya menyebutnya. Well, sekali lagi, itu pendapat saya dan bisa dikoreksi jika mrnimbulkan polemik. Mengapa salah? Karena lebih banyak contoh buruk yang tersaji di media. Terlepas dari tujuan member informasi yang kontinu kepada masyarakat, media terlalu banyak membuat berita negatif tentang citra buruk tentang apapun (ya, apapun). Ambil satu sampel : korupsi. Jika diperhatikan, slogan ‘antikorupsi’ hanya menjadi uap di negeri batik ini. Sadarkah jika contoh tentang masyarakat antikorupsi hampir tidak pernah disajikan? Akan tetapi, kasus korupsi terus menjadi sarapan, makan siang, dan suguhan teh sore hari bagi masyarakat. Bahkan, semua kasus itu akan hilang jika kasus yang baru muncul. Jadi jangan sepenuhnya salahkan si koruptor, karena korupsi memang ‘nagih’, dan tidak pernah ada sosok nyata si antikorupsi.
Alibi ‘menyajikan realita’bagi infotainment juga jadi bahasan luas saat ini. Bukankah mereka hanya mengemukakan tayangan spekulatif yang mendidik kita (saya dan anda) menjadi manusia yang berprasangka? Perlu diberi dinding pemisah antara berprasangka dan kritis. Berprasangka, saat ini, memiliki makna konotatif yang buruk.Perlukah dihapus tayangan tayangan ini? Tidak. Bagaimanapun, informasi tentang apapun akan diperlukan. Yang diperlukan adalah pembenahan porsi apa yang diberitakan, yaitu lebih banyak memberitakan sisi positif para figur publik yang pasti dicontoh masyarakat.
Saya banyak mengamati, tapi saya bukan ahli. Saya terbuka dengan kritik, karena saya mengkritik. Saya memberi saran, karena saya mengalami. Jangan ragu untuk membuka sebuah pembahasan tentang sesuatu yang menggelitik, karena bisa jadi sumber topik yang menarik.
Sebenarnya bukan masalah sopan santun, tapi lebih kepada bagaimana cara untuk memberikan energi positif di tengah kacaunya konstelasi era penuh pertanyaan ini. Bagaimanapun, contoh yang baik akan selalu diperlakukan dan harus selalu diperbaharui (kecuali, jika tafsir kata ‘baik’ sudah berubah menjadi oposisinya).
Sosialisasi lewat jalan yang salah. Begitu saya menyebutnya. Well, sekali lagi, itu pendapat saya dan bisa dikoreksi jika mrnimbulkan polemik. Mengapa salah? Karena lebih banyak contoh buruk yang tersaji di media. Terlepas dari tujuan member informasi yang kontinu kepada masyarakat, media terlalu banyak membuat berita negatif tentang citra buruk tentang apapun (ya, apapun). Ambil satu sampel : korupsi. Jika diperhatikan, slogan ‘antikorupsi’ hanya menjadi uap di negeri batik ini. Sadarkah jika contoh tentang masyarakat antikorupsi hampir tidak pernah disajikan? Akan tetapi, kasus korupsi terus menjadi sarapan, makan siang, dan suguhan teh sore hari bagi masyarakat. Bahkan, semua kasus itu akan hilang jika kasus yang baru muncul. Jadi jangan sepenuhnya salahkan si koruptor, karena korupsi memang ‘nagih’, dan tidak pernah ada sosok nyata si antikorupsi.
Alibi ‘menyajikan realita’bagi infotainment juga jadi bahasan luas saat ini. Bukankah mereka hanya mengemukakan tayangan spekulatif yang mendidik kita (saya dan anda) menjadi manusia yang berprasangka? Perlu diberi dinding pemisah antara berprasangka dan kritis. Berprasangka, saat ini, memiliki makna konotatif yang buruk.Perlukah dihapus tayangan tayangan ini? Tidak. Bagaimanapun, informasi tentang apapun akan diperlukan. Yang diperlukan adalah pembenahan porsi apa yang diberitakan, yaitu lebih banyak memberitakan sisi positif para figur publik yang pasti dicontoh masyarakat.
Saya banyak mengamati, tapi saya bukan ahli. Saya terbuka dengan kritik, karena saya mengkritik. Saya memberi saran, karena saya mengalami. Jangan ragu untuk membuka sebuah pembahasan tentang sesuatu yang menggelitik, karena bisa jadi sumber topik yang menarik.
Komentar
Posting Komentar