Anak Hutan, Anak Kota : Kita, Saya dan Kamu
Rabu, 11 Januari 2012 (21:23)
Sebelum mulai ceracau ini itu, let's say selamat ulang tahun untuk sahabat saya, @dibatiaraa yang berulang tahun ke-18 hari ini. Ulang tahun (semoga)memang selalu membahagiakan, ya...
Seminggu yang lalu adalah masa Ujian Akhir Semester (UAS) di kampus. Berhubung mata kuliah bahasa Inggris 1 sudah diujikan minggu sebelumnya, jadilah kita cuma datang untuk isi absen. Hari itu kebetulan ada yang membawa majalah GATRA edisi 8. Ketika saya buka, ada liputan mengenai Indonesia Mengajar. Like or dislike, saya tergugah dengan tulisan yang berisi pengalaman para pengajar muda yang bertugas di pelosok-pelosok Indonesia.
Salah satu yang paling menginspirasi adalah tulisan yang berjudul Pohon Masa Depan. Yang menjadi pencerita dalam tulisan tersebut adalah Erwin Puspaningtyas Irjayanti, pengajar muda asal Jakarta yang mendapat tugas mengajar di daerah Sulawesi Barat.
Salah satu yang berhasil saya kutip dari tulisan tersebut adalah sebuah kalimat refleksi yang sangat merepresentasikan kehidupan anak-anak Indonesia.
Dang ! Saya tersentil. Jangan memaknainya secara harafiah. Maknai kalimat tersebut secara aplikatif. Mungkin, dari kita banyak yang menjadi bagian dari 'anak gunung' tersebut. Menganggap diri kita bukan pribadi yang worth to get something. Well, saya mencari bukti dan menghitung seberapa sering saya atau orang di lingkungan saya mengatakan 'ah, dia kan orang kaya, bisa kuliah luar negeri, makanya pinter', atau 'ya, pantes aja, lha dia aja bule, asupan gizi lebih oke. Jangan heran kalo mereka pinter.'
That's the thing that matter.
Got it? seringkali, yang menganggap diri kita anak gunung yang bodoh adalah diri kita sendiri. Kita justru senang dengan keterbelakangan yang sekarang eksis di kehidupan. Alih-alih merubah, malah merana sendiri mikirin kelemahan yang sudah ada.
Seringkali saya mendengar excuse yang benar-benar, ehm, bikin capek. Dulu, waktu SMA, beberapa teman minta saran supaya bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris dengan lancar. Mereka tampak mengerti dengan saran yang saya berikan, sepengetahuan saya tentunya. Pada prakteknya, mereka bilang, 'Gue kan orang Indonesia, maklum lah gabisa ngomong bahasa Inggris', atau 'Kurang nasionalis deh pake bahasa Inggris terus'. See? Excuse seperti ini yang (lagi-lagi menurut saya) menjadi kita, saya dan kamu, seringkali duduk terpojok dalam pergaulan dunia. oh man, mana eksekusinya?
Itu cuma satu contoh ya...
Coba deh, saya dan kamu, ingat satu hal yang jadi kelebihan. Satu aja loh. Kurangin sedikit aja intensitas bikin list kelemahan. Sedikit aja loh. It's not about a revolution, because we are not living anymore in totalitarian. This is the way we built our personality.
Percaya deh, none of us is stupid. Paling, minat dan desire kita aja yang beda satu sama lain. Bisa jadi orang yang ahli di bidang ini, tapi di bidang lain gak terlalu mahir. Tapi point-nya di sini bukan itu. Yang terpenting adalah tidak menjadikan diri kita anak hutan yang bodoh. Jika anak kota adalah analogi yang pas untuk hal yang saya harapkan terwujud lewat tulisan ini, let's say it. Kita harus jadi anak kota. Sadar akan kelebihan dan mencari akal untuk menutupi kelemahan.
Masih mau jadi anak hutan yang bodoh? :)
ps : tidak ada maksud diskriminatif tentang penyebutan anak hutan anak kota, hanya sebagai analogi :)
Sebelum mulai ceracau ini itu, let's say selamat ulang tahun untuk sahabat saya, @dibatiaraa yang berulang tahun ke-18 hari ini. Ulang tahun (semoga)memang selalu membahagiakan, ya...
Seminggu yang lalu adalah masa Ujian Akhir Semester (UAS) di kampus. Berhubung mata kuliah bahasa Inggris 1 sudah diujikan minggu sebelumnya, jadilah kita cuma datang untuk isi absen. Hari itu kebetulan ada yang membawa majalah GATRA edisi 8. Ketika saya buka, ada liputan mengenai Indonesia Mengajar. Like or dislike, saya tergugah dengan tulisan yang berisi pengalaman para pengajar muda yang bertugas di pelosok-pelosok Indonesia.
Salah satu yang paling menginspirasi adalah tulisan yang berjudul Pohon Masa Depan. Yang menjadi pencerita dalam tulisan tersebut adalah Erwin Puspaningtyas Irjayanti, pengajar muda asal Jakarta yang mendapat tugas mengajar di daerah Sulawesi Barat.
Salah satu yang berhasil saya kutip dari tulisan tersebut adalah sebuah kalimat refleksi yang sangat merepresentasikan kehidupan anak-anak Indonesia.
Mereka dianggap anak gunung yang bodoh sehingga tidak percaya diri.
Dang ! Saya tersentil. Jangan memaknainya secara harafiah. Maknai kalimat tersebut secara aplikatif. Mungkin, dari kita banyak yang menjadi bagian dari 'anak gunung' tersebut. Menganggap diri kita bukan pribadi yang worth to get something. Well, saya mencari bukti dan menghitung seberapa sering saya atau orang di lingkungan saya mengatakan 'ah, dia kan orang kaya, bisa kuliah luar negeri, makanya pinter', atau 'ya, pantes aja, lha dia aja bule, asupan gizi lebih oke. Jangan heran kalo mereka pinter.'
That's the thing that matter.
Got it? seringkali, yang menganggap diri kita anak gunung yang bodoh adalah diri kita sendiri. Kita justru senang dengan keterbelakangan yang sekarang eksis di kehidupan. Alih-alih merubah, malah merana sendiri mikirin kelemahan yang sudah ada.
Seringkali saya mendengar excuse yang benar-benar, ehm, bikin capek. Dulu, waktu SMA, beberapa teman minta saran supaya bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris dengan lancar. Mereka tampak mengerti dengan saran yang saya berikan, sepengetahuan saya tentunya. Pada prakteknya, mereka bilang, 'Gue kan orang Indonesia, maklum lah gabisa ngomong bahasa Inggris', atau 'Kurang nasionalis deh pake bahasa Inggris terus'. See? Excuse seperti ini yang (lagi-lagi menurut saya) menjadi kita, saya dan kamu, seringkali duduk terpojok dalam pergaulan dunia. oh man, mana eksekusinya?
Itu cuma satu contoh ya...
Coba deh, saya dan kamu, ingat satu hal yang jadi kelebihan. Satu aja loh. Kurangin sedikit aja intensitas bikin list kelemahan. Sedikit aja loh. It's not about a revolution, because we are not living anymore in totalitarian. This is the way we built our personality.
Percaya deh, none of us is stupid. Paling, minat dan desire kita aja yang beda satu sama lain. Bisa jadi orang yang ahli di bidang ini, tapi di bidang lain gak terlalu mahir. Tapi point-nya di sini bukan itu. Yang terpenting adalah tidak menjadikan diri kita anak hutan yang bodoh. Jika anak kota adalah analogi yang pas untuk hal yang saya harapkan terwujud lewat tulisan ini, let's say it. Kita harus jadi anak kota. Sadar akan kelebihan dan mencari akal untuk menutupi kelemahan.
Masih mau jadi anak hutan yang bodoh? :)
ps : tidak ada maksud diskriminatif tentang penyebutan anak hutan anak kota, hanya sebagai analogi :)
Komentar
Posting Komentar