Mereka Dibiarkan (Mencari asumsi alternatif kehadiran FPI)
Malam ini saya (harus) tidur lebih larut
karena besok UAS mata kuliah inti di kampus. Di sela membaca-baca bahan UAS,
saya menonton berita malam di salah satu stasiun TV swasta. Berita pertama yang
disajikan pada acara berita harian itu adalah bentrok antara ormas yang sangat
fenomenal beberapa tahun belakangan ini, FPI –Front Pembela Islam, dan polisi
di Alam Sutera, Tangerang.
Apa yang kalian pikirkan ketika saya
menulis FPI di awal tulisan ini? Kriminal? Opresi? Lady Gaga? Bisa jadi. Tapi
bukan ini yang ingin saya garisbawahi melalui tulisan ini.
Bentrok antara FPI dan polisi di Alam
Sutera ini disebabkan oleh pihak Alam Sutera yang ‘menyerobot’ tanah milik
seorang anggota FPI (jika saya tidak salah dengar). Tanah yang diklaim
diserobot oleh pihak Alam Sutera seluas 2.5 hektar. Dikatakan pula oleh narator
bahwa pihak FPI sudah mengusahakan beberapa kali penyelesaian masalah melalui
jalur hukum, namun hasil yang mereka terima nihil. Alih-alih diselesaikan
melalui jalur hukum, pihak Alam Sutera malah menyewa preman untuk menjaga tanah
tersebut.
Saya bingung. Kebingungan saya membawa saya
ke sebuah titik yang cukup mengejutkan. Di titik tersebut saya semakin yakin
bahwa keberadaan mereka yang sepaket dengan aksi kriminal dan aksi kekerasan
itu memang karena penegakkan hukum yang lemah. Bukan, bukan masalah Rancangan
Undang-Undang Ormas yang ramai diperbincangkan. Atau memang bukan penegakkan
hukum, ya? Birokrasi mungkin?
Dalam wawancara di acara yang sama,
koordinator FPI Tangerang dengan emosi mengatakan bahwa mereka (FPI) sudah
mengajukan penyelesaian secara hukum berkali-kali, namun seperti tidak
digubris. Akhirnya mereka memilih jalan konfrontasi. Ya, birokrasi. Ya,
marginalisasi kasus oleh pihak yang katanya berwajib. Melapor ke yang berwajib
saja tidak digubris, lalu jalan apa lagi yang dapat ditempuh selain
konfrontasi? Lucu sekali Indonesia ini (katakana Indonesia jika ingin
menggeneralisasi).
Satu kasus ini dapat ditarik intinya ke
kasus-kasus lainnya. Asumsi saya, jangan-jangan memang sebenarnya suara mereka
tidak didengar, makanya mereka tidak jenuh untuk memberontak. Analisa dengan
teori strukturalis cocok sekali. Merasa disubordinasi, merasa dipinggirkan,
akhirnya memberontan dan melancarkan aksi revolusi. Saya tifsk berniat untuk
berpihak pada pihak manapun, tapi saya membayangkan bahwa birokrasi yang
men-subordinasi ormas ormas inilah yang menyebabkan aksi kekerasan selama ini.
Mereka berniat untuk menyuarakan pendapat –sama seperti saya, tapi tidak
didengar . Memilih-milih kasus memang sudah menjadi rahasia umum dalam
birokrasi aparat kepolisian kita. Citra negatif berhasil diangun melalui dari
kebiasaan ini. FPI melalui tindak kekerasannya memang disepakati melanggar
aturan, HAM, dsb. Tetapi perlu diperhatikan lebih jauh jika ingin memberantas aksi
kekerasan yang dilakukan mereka. Perlu diadakan analisa lebih lanjut terkait
mengapa mereka melakukan hal tersebut, agar dapat diperantas dari akarnya,
bukan sekadar memetik pucuk-pucuk daun saja.
Komentar
Posting Komentar