Jakarta Biennale: Memo Lampau Hingga Kini
Remaja berfoto dengan latar Jakarta Biennale 2015 |
"Helatan seni kembali digelar di Jakarta. Kali ini, pameran
seni dua tahunan Jakarta Biennale mengambil tema besar ‘Maju Kena, Mundur Kena:
Bertindak Sekarang’. Saya yang tak peka seni menjadi begitu tekun mengamati
ragam bentuk dan rupa yang dipamerkan di Gudang Sarinah, 14 November 2015-17
Januari 2016."
Dua bulan lamanya, masyarakat dimanjakan dengan karya seni
yang dekat dengan hidup mereka. Karya seni yang dipamerkan dalam Jakarta
Biennale tidak membatasi diri untuk kalangan tertentu. Bahkan, kesan yang
timbul saat melihat hajatan seni dua tahun sekali ini justru sangat membumi,
memberi pesan bermakna bagi penikmatnya. Mengangkat isu nyata dan jauh dari
kesan rumit, Jakarta Biennale menyuguhkan perspektif baru dalam menikmati seni.
Tak ada latar putih polos dan tata ruang mewah. Pameran ini untuk semua, baik
penikmat seni sejati maupun awam, untuk melihat apa dan siapa di sekitarnya
melalui media seni rupa kontemporer.
Sejauh mata memandang, dalam ruang pameran terdapat berbagai
macam bentuk interpretasi masalah sosial seperti air, sejarah, feminisme dan
LGBT. Buah pikir seniman Indonesia dan Mancanegara tumpah ruah dan menjadikan
setiap senti instalasi seni garapannya begitu kaya. Peristiwa 65, politik
apartheid Australia, hingga perbincangan kuntilanak mengenai perempuan menjadi
begitu menggelitik untuk disimak.
Penampakan hantu kuntilanak di Jakarta Biennale |
Sulit memilah karya favorit, tokh ini bukanlah kompetisi dan
saya sangat awam untuk menilai karya seni. Namun, salah satu karya yang begitu menarik di mata saya
adalah sebuah instalasi gedung pencakar langit. Dalam esai, kurator
mendeskripsikan dengan dramatis tentang kota yang didesain modern namun tanpa
nyawa. Selama bergaya milenium, maka kota akan sejahtera. Lalu
bangunan-bangunan kokoh menafikan keberadaan ekosistem dan estetika lama. Anak
baru meggusur eksistensi anak lama.
Perpaduan apik arsitektur dan seni rupa |
Karya lain yang tak kalah menarik adalah susunan baju-baju
di sebuah dinding. Baju-baju ini akan membuat anda bertanya-tanya. Ternyata,
baju-baju tersebut disusun sedemikian rupa sebagai simbol jejak kekerasan di
Indonesia. Ah! Dan jangan terkejut melihat sebuah panggung sederhana diiringi
musik dangdut (mudah-mudahan saya tak salah dengar). Sambutan yang meriah untuk
pengunjung.
Datang dan siapkan waktu lama untuk menikmati setiap
instalasi, diorama, dan bentuk-bentuk lain yang saya belum tahu namanya. Yang
pasti, dua jam belum cukup untuk memuaskan rasa penasaran saya. Datang dua atau
tiga kali tak dosa juga. Takkan rugi menghabiskan waktu di Gudang Sarinah yang
lembap seharian. Anda akan bernostalgia sembari melihat ramalan masa depan. Momen-momen masa kini yang menghimpit akan menginspirasi anda untuk bertindak
sekarang.
Komentar
Posting Komentar