Suger Octaviany: A New Life in Ecuador
Source |
"Pada bulan keempat saya di Ekuador,
saya ingin berbagi pengalaman dengan teman-teman pembaca blog ini."
Suger Octaviani (@sgrr__)
adalah teman saya selama kuliah di FISIP UIN Jakarta. Ia lulus lebih dulu dari
saya, dan kini membuat saya iri karena ia bekerja di Ekuador. Ya, saya ingin
sekali menginjakkan kaki di tanah Amerika Latin. Sebagai sesama libra, kami
merasa perlu untuk saling mendukung dan menyemangati. Kini, Suger akan bercerita
mengenai pengalamannya menembus tahap demi tahap menjadi Local Staff Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia di Quito, Ekuador.
A New Life: Why I Am Here
Tiga puluh jam perjalanan menuju Ekuador tidak terasa melelahkan sama sekali. Lama ya? Jelas, karena saya transit di Amsterdam dulu kemudian melanjutkan perjalanan ke Quito, ibu kota Ekuador. Tidak ada perasaan jetlag sama sekali, mungkin karena saya bukan selebritas-selebritas yang hobi ke luar negeri. Sampailah saya ke negeri orang yang letaknya 18,658 kilometer jauhnya dari ibu pertiwi.
Baca juga: Haifa Inayah, Founder of Catch Me Up!
Tujuan perjalanan saya ke Ekuador cuma satu, bekerja. Sebelumnya tidak terpikirkan untuk pindah sejauh ini. Beberapa orang bertanya kepada saya langsung (atau lewat teman, temannya teman, dan temannya temannya teman, padahal kalau mereka tanya langsung pasti saya jawab). Beberapa orang berasumsi saya melanjutkan studi di sini. Pengin sih, tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat.
Kenapa tidak langsung melanjutkan studi? Simply karena ingin tahu rasanya bekerja. Melakukan pekerjaan, seperti teman-teman lainnya, akan menambah pengalaman dan…. uang. Hahaha. Percayalah, saya dilanda sebuah perasaan yang campur aduk ketika akhirnya bisa terbang ke negara Amerika Latin untuk bekerja. Yang pasti, I knew that this is gonna be exciting!
How I Got This: Sebuah Perjalanan Panjang
Sekitar bulan April 2016 lalu, saya menghadiri pernikahan kakak seorang sahabat saya yang bernama Uma. Seperti pertamuan sahabat pada umumnya, kami bercerita tentang progress hidup dan mimpi di masa depan. Ia bercerita kalau ia akan berangkat ke Cape Town, Afrika Selatan. I was questioning bagaimana caranya dan kenapa jauh banget.
Long story short, Uma bilang ia pergi ke Cape Town untuk bekerja sebagai staf lokal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tes yang dilalui Uma lumayan panjang, selayaknya tes untuk jadi pegawai negeri. Tidak behenti pada cerita saja, Uma mengajak saya untuk ikut tesnya juga. Dan semuanya dimulai dari resepsi pernikahan tersebut.
Ternyata CV saja tidak cukup. Ketika datang melamar di kantor Kementerian Luar Negeri, ada beberapa dokumen yang diperlukan. Kelengkapan dokumen ini dihitung sebagai tes pertama. Seleksi administrasi ini akan menentukan siapa yang lolos untuk tes selanjutnya. Lalu saatnya menunggu pengumuman. Super deg-degan!
Baca juga: Yulita Alvernia, Menjadi Brand Strategist yang Well-Rounded
Tahapan tes di Kementerian Luar Negeri ini sangat banyak. Saya mengerti, tidak mungkin mereka asal-asalan memberikan tugas luar negeri kepada seseorang. Bisa jadi nanti akan ada kesempatan untuk bertemu pejabat negara lain, mengurus surat penting, sampai berkomunikasi dengan pihak internal kementerian terkait. Terbayang tugas beratnya.
Datanglah email untuk tes pertama. Tes pertama adalah pengetahuan umum, Bahasa Inggris, dan komputer. Pada hari H, semua peserta tes datang dengan peralatan perang berupa kertas, modul, buku dan lain-lain. Saya hanya berbekal belajar sekadarnya semalam sebelumnya. Selesai tes, kami menunggu lagi (ouch!). Tak disangka, saya lolos ke tahap wawancara dan tes psikometri.
Tahap wawancara dengan psikolog berhasil terlewati dengan baik. Pada tahap ini, peserta dapat memilih negara yang dirasa cocok. Waktu menunggu pasca tes ini tidak terlalu lama, hanya dalam hitungan minggu. Email kelulusan tes datang lagi, dan saya mendapatkan kesempatan bertugas di Bangladesh. Setelah email ini, ada tahap wawancara dengan Biro Kepegawaian Kementerian Luar Negeri. Saya mengiyakan tawaran bertugas di Bangladesh.
No, No Victory Comes Easy
A New Life: Why I Am Here
Tiga puluh jam perjalanan menuju Ekuador tidak terasa melelahkan sama sekali. Lama ya? Jelas, karena saya transit di Amsterdam dulu kemudian melanjutkan perjalanan ke Quito, ibu kota Ekuador. Tidak ada perasaan jetlag sama sekali, mungkin karena saya bukan selebritas-selebritas yang hobi ke luar negeri. Sampailah saya ke negeri orang yang letaknya 18,658 kilometer jauhnya dari ibu pertiwi.
Baca juga: Haifa Inayah, Founder of Catch Me Up!
Tujuan perjalanan saya ke Ekuador cuma satu, bekerja. Sebelumnya tidak terpikirkan untuk pindah sejauh ini. Beberapa orang bertanya kepada saya langsung (atau lewat teman, temannya teman, dan temannya temannya teman, padahal kalau mereka tanya langsung pasti saya jawab). Beberapa orang berasumsi saya melanjutkan studi di sini. Pengin sih, tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat.
Kenapa tidak langsung melanjutkan studi? Simply karena ingin tahu rasanya bekerja. Melakukan pekerjaan, seperti teman-teman lainnya, akan menambah pengalaman dan…. uang. Hahaha. Percayalah, saya dilanda sebuah perasaan yang campur aduk ketika akhirnya bisa terbang ke negara Amerika Latin untuk bekerja. Yang pasti, I knew that this is gonna be exciting!
How I Got This: Sebuah Perjalanan Panjang
Sekitar bulan April 2016 lalu, saya menghadiri pernikahan kakak seorang sahabat saya yang bernama Uma. Seperti pertamuan sahabat pada umumnya, kami bercerita tentang progress hidup dan mimpi di masa depan. Ia bercerita kalau ia akan berangkat ke Cape Town, Afrika Selatan. I was questioning bagaimana caranya dan kenapa jauh banget.
Long story short, Uma bilang ia pergi ke Cape Town untuk bekerja sebagai staf lokal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tes yang dilalui Uma lumayan panjang, selayaknya tes untuk jadi pegawai negeri. Tidak behenti pada cerita saja, Uma mengajak saya untuk ikut tesnya juga. Dan semuanya dimulai dari resepsi pernikahan tersebut.
Ternyata CV saja tidak cukup. Ketika datang melamar di kantor Kementerian Luar Negeri, ada beberapa dokumen yang diperlukan. Kelengkapan dokumen ini dihitung sebagai tes pertama. Seleksi administrasi ini akan menentukan siapa yang lolos untuk tes selanjutnya. Lalu saatnya menunggu pengumuman. Super deg-degan!
Baca juga: Yulita Alvernia, Menjadi Brand Strategist yang Well-Rounded
Tahapan tes di Kementerian Luar Negeri ini sangat banyak. Saya mengerti, tidak mungkin mereka asal-asalan memberikan tugas luar negeri kepada seseorang. Bisa jadi nanti akan ada kesempatan untuk bertemu pejabat negara lain, mengurus surat penting, sampai berkomunikasi dengan pihak internal kementerian terkait. Terbayang tugas beratnya.
Datanglah email untuk tes pertama. Tes pertama adalah pengetahuan umum, Bahasa Inggris, dan komputer. Pada hari H, semua peserta tes datang dengan peralatan perang berupa kertas, modul, buku dan lain-lain. Saya hanya berbekal belajar sekadarnya semalam sebelumnya. Selesai tes, kami menunggu lagi (ouch!). Tak disangka, saya lolos ke tahap wawancara dan tes psikometri.
Tahap wawancara dengan psikolog berhasil terlewati dengan baik. Pada tahap ini, peserta dapat memilih negara yang dirasa cocok. Waktu menunggu pasca tes ini tidak terlalu lama, hanya dalam hitungan minggu. Email kelulusan tes datang lagi, dan saya mendapatkan kesempatan bertugas di Bangladesh. Setelah email ini, ada tahap wawancara dengan Biro Kepegawaian Kementerian Luar Negeri. Saya mengiyakan tawaran bertugas di Bangladesh.
No, No Victory Comes Easy
Kabar buruk datang. Saya tidak dapat berangkat ke Bangladesh karena
satu dan lain hal. Yes, it was sad. Semua usaha yang berhasil mulus ini gagal
di tahap akhir. OK, this is time to move on. Mungkin memang harus mencari
pekerjaan di tempat lain. Ada banyak kesempatan di luar sana.
Kesempatan kedua datang! Saya dihubungi kembali oleh pihak kementerian
dan direkomendasikan untuk bertugas di KBRI Quito, Ekuador. Pihak perwakilan
meminta saya datang lagi untuk wawancara ulang. Cukup lega rasanya, juga dapat
pelajaran, bahwa sebuah usaha tidak selalu mulus. Kita perlu melalui rintangan,
baik itu mudah atau sulit, agar kita bisa mencapai yang ingin dituju.
Baca juga: Diego Christian, Perjuangan Baru Saja Dimulai
Baca juga: Diego Christian, Perjuangan Baru Saja Dimulai
Keberangkatan sudah pasti, dan saya sudah diberitahu akan bekerja di
divisi apa di Quito nanti. Saya berkesempatan untuk bekerja di divisi keuangan.
Ada dua pembekalan yang saya jalani, yakni pembekalan umum (untuk semua staf lokal
yang akan berangkat) yang berjalan selama satu minggu dan pembekalan khusus (untuk
yang akan bekerja di divisi keuangan) yang berjalan selama satu bulan. Pembekalannya
berjalan dengan sangat menyenangkan. Plus, pacar yang lebih perhatian karena ia
sadar kami akan menjalani hubungan jarak jauh.
14 November 2016, Merantau Jauh Lintas Benua
Source |
Ini adalah bulan keempat saya di
Ekuador. Tidak pernah menyangka perjalanan kerja pertama akan bertugas di
negeri orang. Ada perasaan kangen rumah, keluarga, dan teman-teman yang begitu
dalam. Tapi sebagai perjalanan untuk menjadi seseorang yang lebih dewasa, saya
harus yakin kalau ini adalah bagiannya. Lagipula, ada banyak cara untuk
berkomunikasi.
Sekali lagi, saya tidak pernah
menyangka sama sekali. Mungkin perlu teman-teman ketahui, saya sempat
berkeliling dari job fair ke job fair untuk mencari kerja. Saya sempat dilanda
kepanikan karena teman-teman yang lain sudah mendapatkan pekerjaan. Tapi ada
semangat dan doa dari orang-orang terdekat saya. Mereka menjadi semacam bahan
bakar dalam perjuangan seorang fresh graduate.
Saya bukan orang dengan obsesi besar
untuk menjadi seorang diplomat dalam waktu setahun atau dua tahun, karenanya
saya tidak pernah update proses di atas di kanal apapun, kepada siapapun. Saya
percaya semua butuh proses. Sayangnya, beberapa orang tanpa tahu kebenarannya
berasumsi saya bekerja di sini karena bantuan kerabat yang sudah bekerja di
sini lebih dulu.
Sejujurnya…. saya tidak mengenal siapapun di sini. Jadi, asumsi tersebut tidaklah benar. Bahkan, jika saya terobsesi untuk menjadi diplomat, saya yakin ini hanyalah langkah kecil menuju impian tersebut. Dan saya bersedia mengikuti prosesnya dengan usaha semampu yang saya bisa. I believe it's gonna work like mirace. Dan berdoalah, dan percaya.
Sejujurnya…. saya tidak mengenal siapapun di sini. Jadi, asumsi tersebut tidaklah benar. Bahkan, jika saya terobsesi untuk menjadi diplomat, saya yakin ini hanyalah langkah kecil menuju impian tersebut. Dan saya bersedia mengikuti prosesnya dengan usaha semampu yang saya bisa. I believe it's gonna work like mirace. Dan berdoalah, dan percaya.
Very inspiring mas, mau Tanya untuk tes psikometri dan wawancara psikolog itu sperti apa ya mas? Adakah soal2 yg bisa Saya pelajari drmh. Mohon bimbingan ny mas..
BalasHapus