DEBTOCRACY: Hutang Luar Negeri dan Revolusi Ekonomi
This is how I re-tell the story about Debtocracy, a documentary movie which tells some things about foreign aid and/or debt. Actually I did it for my Global Contemporary Issues final review, but it is something good I think if I can share this to you guys. Happy reading! :-)
Hutang luar negeri menjadi momok
bagi negara. Hutang yang awalnya diberikan untuk tujuan pembangunan industri
dan kesejahteraan masyarakat,
berakhir pada intervensi negara pemberi hutang dan bantuan ke dalam politik
dalam negeri. Tidak hanya itu, hutang dan bunganya yang terus bertambah harus terpaksa
diwariskan kepada generasi penerus sebuah negara. Hutang luar negeri yang
mencekik dan tidak (atau belum) berhasil dilunasi sering dialihkan ke dalam
hal-hal yang bersifat rasisme, misalnya Yunani yang dianggap miskin dan tidak
bisa melunasi hutang luar negerinya. Orang Yunani (Greeks) dianggap malas, sehingga ekonominya cenderung tidak tumbuh.
Padahal, hal ini diakibatkan imbas dari dicanangkannya Eurozone yang mengakibatkan perekonomian negara dapat dengan mudah
terekspos oleh negara lain dan membuka jalan bagi kapitalisasi antar negara.
Beberapa negara merasakan bagaimana
sebuah hutang luar negeri mencekik perekonomian negaranya. Hutang luar negeri
yang disalurkan melalui negara-negara besar dan lembaga keuangan internasional
(International Monetary Fund dan World Bank) hanya memberikan keuntungan
bagi pembangunan di tahun-tahun awal saja. Di tahun-tahun berikutnya, hutang
luar negeri beserta bunganya menjadi ‘warisan’ yang harus dilunasi oleh
generasi ke generasi berikutnya.
Dalam film ini, Ekuador adalah salah
satu negara yang merasa tercekik oleh hutang yang diberikan oleh lembaga keuangan
internasional, yakni World Bank.
Ekuador, sebelum mengambil keputusan unutk mengambil hutang luar negeri dari World Bank, merupakan salah satu negara
paling kaya di Amerika Selatan. Namun, setelah mendapatkan uang dari World Bank,
Ekuador merasakan efek buruk dari hutang luar negeri tersebut, yakni perubahan
sistem dalam negerinya –misalnya sistem yang menjadi dictator atau otoriter,
hingga intervensi lembaga keuangan tersebut ke dalam politik internal.
Pemimpin negara, dalam hal hutang
luara negeri, seakan dijadikan boneka oleh IMF karena selalu menuruti saran
politik dan ekonomi World Bank. Hal
ini menjadi penyulut revolusi menyeluruh pada negara tersebut, khususnya pada
masa kepemimpinan presiden Rafael Correa yang terpilih pada tahun 2006.
Kebijakan kontroversial yang dirumuskan oleh presiden Correa dan timnya adalah
penentuan sikap baru Ekuador kepada lembaga keuangan internasdional semacam World Bank. Presiden Correa
mendeklarasikan untuk memberikan gelar persona
non grata kepada representasi Word
Bank di Ekuador.
Hal yang sama dirasakan oleh Yunani,
negara yang masuk ke dalam kategori semi-peripheral
di Uni Eropa.. Yunan yang mengalami krisis mendapat bantuan fisik dan non-fisik
dari Jerman. Bantuan fisik dari jerman berupa bantuan dana untuk keluar dari
krisis, sedangkan bantuan non-fisik adalah bantuan saran dan konsultasi untuk
Yunani dalam hal finansial. Bantuan-bantuan ini seperti jebakan bagi Yunani,
karena Jerman memberikan saran kepada Yunani agar memangkas anggaran sosial dan
kemasyarakatan dan tidak memangkas anggaran impor senjata dari Jerman.
Faktanya, Jerman memberikan bantuan
dana. Dengan kata lain, Jerman memberikan bantuan finansial kepada Yunani,
namun dana yang diberikan hanya berputar pada sektor ekspor-impor senjata
antara Yunani dan Jerman. Kesimpulannya adalah, Yunani tidak terbantu dan
Jerman semakin kaya dengan kebijakannya yang memproteksi sektor ekonominya,
terutama dalam hal ekspor senjata.
Sama halnya dengan Ekuador, Yunani
melakukan aksi liberasi secara bertahap dari cekikan hutang dan keterlibatannya
dari IMF hingga Uni Eropa. Perbedaan dengan revolusi ekonomi di Yunani dengan
Ekuador adalah aktor yang menginisiasi revolusi ‘pembebasan diri’ tersebut. Di
Yunani, beberapa aktor yang dari berbagai lapisan ikut dalam aksi ini, yakni
artis, politisi, individu-individu dalam masyarakat, hingga ke
organisasi-organisasi yang berkaitan dengan masalah finansial Yunani.
Aktor-aktor ini menginginkan adanya audit dalam perekonomian Yunani.
Kesimpulan yang paling nyata yang
dapat ditarik dari film ini adalah bahwa hutang luar negeri dapat menjadi isu
yang sangat besar pada era ini dikarenakan globalisasi yang memaksa negara
untuk mengikuti standar negara-negara besar. Standar ini tidak memperhatikan
negara-negara yang masuk dalam kategori peripheral
dan semi-peripheral, sehingga
negara-negara dalam dua kategori ini harus berhutang kepada negara superpower atau lembaga keuangan
internasional. Contoh yang disajikan dalam film ini adalah Argentina yang
berhutang kepada Inggris, Yunani yang berhutang ke Jerman, dan Ekuador ke IMF.
Kasus-kasus tersebut memantapkan analisa Dos Santos dengan North-South Relation (Dependence Theory).
Hutang (atau biasa disebut bantuan)
luar negeri tidak akan pernah terlepas dari kepentingan sebuah negara. Contoh
nyatanya adalah Jerman yang memberikan bantuan kepada Yunani dengan syarat
bahwa Yunani tidak boleh memangkas anggaran belanjanya untuk mengimpor senjata
dari jerman. Selain itu, motif kepentingan geopolitik Amerika Serikat (pada
masa pemerintahan George W. Bush) yang memberikan prasyarat kepada Irak untuk bebas
terlebih dahulu dari rezim Sadam Hussein jika masih menginginkan bantuan luar
negerinya.
Kondisi hutang luar negeri yang
semakin mencekik dan tidak kunjung terbayar menumbuhkan semangat revolusi
ekonomi (dan bahkan sistem keseluruhan) pada sebuah negara. Revolusi ini dimaksudkan
untuk merubah sistem dan membebaskan diri mereka dari jerat hutang dan
interfensi hingga ke politik dalam negeri dari pemberi pinjaman/bantuan. Hal
ini dibuktikan dengan adanya revolusi yang dilakukan oleh beragam aktor di
Yunani (yang ingin membebaskan diri dari IMF dan Uni Eropa) dan Ekuador (yang
ingin membebaskan diri dari World Bank.
Komentar
Posting Komentar